Ruang Berita - Cerita Dewasa - Tidur Dengan Kakak Iparku - Hari-hariku sebagai
istrinya memang membahagiakan dan membanggakan. Teman-teman gadisku
banyak yang iri dengan kehidupanku yang serba enak. Meski aku sendiri
tidak yakin dengan kebahagian yang kurasakan saat itu. Hati kecilku
sering dipenuhi oleh kekhawatiran yang sewaktu-waktu akan membuat
hidupku jatuh merana. Aku sebenarnya bukanlah satu-satunya wanita
pendamping suamiku. Ia sudah beristri dengan beberapa anak. Mereka
tinggal jauh di kota besar dan sama sekali tak pernah
tahu akan keberadaanku sebagai madunya.
Ketika menikah pun aku sudah tahu
akan statusnya ini. Aku, entah terpaksa atau memang mencintainya,
memutuskan untuk menikah dengannya. Demikian pula dengan orang tuaku.
Mereka malah sangat mengharapkan aku menjadi istrinya. Mungkin mereka
mengharapkan kehidupan kami akan berubah, derajat kami meningkat dan
dipandang oleh semua orang kampung
bila
aku sudah menjadi istrinya. Mungkin memang sudah nasibku untuk
menjadi istri kedua, lagi pula hidupku cukup bahagia dengan statusku
ini.
Semua itu kurasakan setahun yang lalu. Begitu menginjak
tahun kedua, barulah aku merasakan perubahan. Suamiku yang dulunya
lebih sering berada di sisiku, kini mulai jarang muncul di rumah.
Pertama seminggu sekali ia mengunjungiku, kemudian sebulan dan
terakhir aku sudah tak menghitung lagi entah berapa bulan sekali dia
datang kepadaku untuk melepas rindu.
Aku tak berani
menghubunginya. Aku takut semua itu malah akan membuat hidupku lebih
merana. Aku tak bisa membayangkan kalau istri pertamanya tahu
keberadaanku. Tentunya akan marah besar dan mengadukanku ke pihak
berwajib. Biarlah aku tanggung semua derita ini. Aku tak ingin orang
tuaku terbawa sengsara oleh masalah kami. Mereka sudah hidup bahagia,
memiliki rumah yang lebih besar, sawah dan ternak-ternak piaraan
pemberian suamiku.
Hari hari yang kulalui semakin tidak menggairahkan. Aku berusaha untuk menyibukan diri dengan berbagai kerjaan
agar
tak merasa bosan ditinggal suami dalam waktu lama. Tetapi semua itu
tidak membuat perasaanku tenang. Justru menjadi gelisah, terutama di
malam hari. Aku selalu termenung sendiri di ranjang sampai larut malam
menunggu kantuk yang tak kunjung datang. Kurasakan sprei
tempat tidurku begitu dingin, tidak seperti di hari-hari awal pernikahan kami dulu. Sprei tempat
tidurku tak pernah rapi, selalu acak-acakan dan hangat bekas
pergulatan tubuh kami yang selalu berkeringat. Di saat-sat seperti
inilah aku selalu merasakan kesedihan yang mendalam, gelisah
mendambakan kehangatan seperti dulu. Rindu akan cumbuan hangat suamiku
yang sepertinya tak pernah padam meski usianya sudah mulai menua.
Kalau
sudah terbayang semua itu, aku menjadi semakin gelisah. Gelisah oleh
perasaanku yang menggebu-gebu. Bahkan akhir-akhir ini semakin membuat
kepalaku pusing. Membuatku uring-uringan. Marah oleh sesuatu yang aku
sendiri tak mengerti. Kegelisahan ini sering terbawa dalam impianku.
Di luar sadarku, aku sering membayangkan cumbuan hangat suamiku.
Bagaimana panasnya kecupan
bibir
suamiku di sekujur tubuhku. Aku menggelinjang setiap kali terkena
sentuhan bibirnya, bergetar merasakan sentuhan lembut jemari tangannya
di bagian tertentu tubuhku. Aku tak mampu menahan diri. Akhirnya aku
mencumbui diriku sendiri. Tangannku menggerayang ke seluruh tubuhku
sambil membayangkan semua itu milik suamiku. Pinggulku berputar liar
mengimbangi gerakan jemari di sekitar pangkal pahaku. Pantatku
terangkat tinggi-tinggi menyambut desakan benda imajinasiku ke dalam
diriku. Aku melenguh dan merintih kenikmatan hingga akhirnya terkulai
lemas di ranjang kembali ke alam sadar bahwa semua itu merupakan
kenikmatan semu. Air mataku jatuh bercucuran, meratapi nasibku yang
tidak beruntung.
Pelarianku itu menjadi kebiasaan setiap
menjelang tidur. Menjadi semacam keharusan. Aku ketagihan. Sulit
menghilangkan kebiasaan yang sudah menjadi kebutuhan bathinku. Aku tak
tahu sampai kapan semua ini akan berakhir. Aku sudah bosan. Kecewa,
marah, sedih dan entah apalagi yang ada dalam perasaanku saat ini.
Kepada siapa aku harus melampiaskan semua ini? Suamiku? Entah kapan ia
datang lagi. Kepada orang tua? Apa yang bisa mereka perbuat? Oohh..
aku hanya bisa menangisi penderitaan ini.
Aku memang gadis kampung yang tak tahu keadaan. Aku tak pernah sadar bahwa keadaanku sehari-hari menarik perhatian seseorang. Aku baru tahu
kemudian bahwa ternyata Kang Hendi, suami kakakku, mengikuti
perkembanganku sehari-hari. Mereka memang tinggal di rumahku. Aku
sengaja mengajak mereka tinggal bersama, karena rumahku cukup besar
untuk menampung mereka bersama anak tunggalnya yang masih balita.
Sekalian menemaniku yang hidup seornag diri.
"Kasihan Neng Anna, temenin aja. Biar rumah kalian yang di sana dikontrakan saja" demikian saran orang tuaku waktu itu.
Aku pun tak keberatan. Akhirnya mereka tinggal bersamaku. Semuanya berjalan
normal
saja. Tak ada permasalahan di antara kami semua, sampai suatu malam
ketika aku sedang melakukan hal 'rutin' terperanjat setengah mati saat
kusadari ternyata aku tidak sedang bermimpi bercumbu dengan suamiku.
Sebelum sadar, aku merasakan kenikmatan yang luar biasa sekali. Terasa
lain dengan khayalanku selama ini. Apalagi ketika puting payudaraku
dijilat dan dihisap-hisap dengan
penuh
gairah. Aku sampai mengerang saking nikmatnya. Rangsangan itu semakin
bertambah hebat menguasai diriku. Kecupan itu semakin menggila,
bergerak perlahan menelusuri perutku terus ke bawah menuju lembah yang
ditumbuhi semak-semak lebat di sekitar selangkanganku. Aku hampir
berteriak saking menikmatinya. Ini merupakan sesuatu yang baru, yang
tak pernah dilakukan oleh suamiku. Bahkan dalam mimpipun, aku tak
pernah membayangkan sampai sejauh itu. Di situlah aku baru tersadar.
Terbangun dari mimipiku yang indah. Kubuka mataku dan melirik ke bawah
tubuhku untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Mataku yang
masih belum terbiasa dengan keadaan gelap ruangan kamar, melihat
sesuatu bergerak-gerak di bawah sana, di antara kedua pahaku yang
terbuka
lebar.
"Aduh kenapa sih ini.." gumamku setengah sadar sambil menjulurkan tanganku ke bawah sana.
Tanganku
memegang sesuatu seperti rambut. Kuraba-raba dan baru kutahu bahwa
itu adalah kepala seseorang. Aku kaget. Dengan refleks aku bangun dan
merapat ke ujung ranjang sambil mencoba melihat apa terjadi. Setelah
mataku terbiasa dengan kegelapan, kulihat di sana ternyata seseorang
tengah merayap ke atas ranjang. Aku semakin kaget begitu kutahu orang
itu adalah Kang Hendi, kakak iparku!
Saking kagetnya, aku berteriak sekuat
tenaga. Tetapi aku tak mendengar suara teriakan itu. Kerongkonganku serasa tersekat. Hanya mulutku saja yang terbuka, menganga lebar-lebar. Kedua mataku melotot seakan tak
percaya apa yang kulihat di hadapanku adalah Kang Hendi yang bertelanjang dengan hanya memakai cawat.
Kang Hendi menghampiri sambil mengisyaratkan agar
jangan berteriak. Tubuhku semakin mepet ke ujung dinding. Takut,
marah dan lain sebagainya bercampur aduk dalam dihatiku melihat
kehadirannya di kamarku dalam keadaan setengah telanjang seperti itu.
"Kang! Lagi apa..?" hanya itu yang keluar dari mulutku sementara tanganku sibuk membenahi pakaianku yang sudah tak karuan.
Aku
baru sadar ternyata seluruh kancing baju tidurku semuanya terlepas
dan bagian bawahnya sudah terangkat sampai ke pinggang. Untungnya saja
celana dalamku masih terpakai rapi, hanya dadaku saja yang telanjang.
Aku buru-buru menutupi ketelanjangan dadaku karena kulihat mata Kang
Hendi yang liar nampaknya tak pernah berkedip menatap ke arah sana.
Saking
takutnya aku tak bisa ngomong apa-apa dan hanya melongo melihat Kang
Hendi semakin mendekat. Ia lalu duduk di bibir ranjang sambil meraih
tanganku dan membisikan kata-kata rayuan bahwa aku ini cantik namun
kurang beruntung dalam perkawinannya. Dadaku serasa mau meledak
mendengar ucapannya. Apa hak dia untuk mengatakan semua itu? Aku tak
butuh dengan belas kasihannya. Kalau saja aku tidak ingat akan istrinya,
yang merupakan kakakku sendiri. Sudah kutampar mulut lancangnya itu.
Apalagi ia sudah berani-berani masuk ke dalam kamarku malam-malam
begini.
Teringat itu aku langsung bertanya, "Kemana Teh Mirna?".
"Ssst, tenang ia lagi di rumah yang di sana" kata Kang Hendi dengan tenang seolah tidak bersalah.
Kurang ajar, runtukku dalam hati. Pantesan berani masuk ke kamar. Tapi kok Teh Mirna nggak ngomong-ngomong sebelumnya.
"Kok dia nggak bilang-bilang mau pulang" Tanyaku heran.
"Tadinya
mau ngomong. Tapi Kang Hendi bilang nggak usah kasihan Neng Anna
sudah tidur, biar nanti Akang saja yang bilangin" jelasnya.
Dasar
laki-laki kurang ajar. Istrinya dibohongi biar dia bebas masuk
kamarku. Aku semakin marah. Pertama ia sudah kurang ajar masuk kamarku,
kedua ia berani mengkhianati istrinya yang juga kakak kandungku
sendiri!
"Akang sadar saya ini adikmu juga. Akang mau ngapain
kemari.. Cuma.. ngh.. pake gituan aja" kataku seraya melirik Kang
Hendi sekilas. Aku tak berani lama-lama karena takut melihat
tatapannya.
"Neng.." panggilnya dengan suara parau.
"Akang kasihan lihat Neng Anna. Akhir-akhir ini kelihatannya semakin menderita saja" ucapnya kemudian.
"Akang tahu dari mana saya menderita" sergahku dengan mata mendelik.
"Eh.. jangan marah ya. Itu.. nggh.. Akang.. anu.." katanya dengan ragu-ragu.
"Ada apa kang?" tanyaku semakin penasaran sambil menatap wajahnya lekat-lekat.
"Anu.. eh, Akang lihat kamu selalu kesepian. Lama ditinggal suami, jadi Akang ingin Bantu kamu" katanya tanpa malu-malu.
"Maksud Akang?"
"Ini.. Akang, maaf neng.., pernah lihat Neng Anna kalau lagi tidur suka.." ungkapnya setengah-setengah.
"Jadi Akang suka ngintip saya?" tanyaku semakin sewot.
Kulihat ia mengangguk lemah untuk kemudian menatapku dengan penuh gairah.
"Akang ingin menolong kamu" bisiknya hampir tak terdengar.
Kepalaku
serasa dihantam petir mendengar pengakuan dan keberaniannya
mengungkapkan isi hatinya. Sungguh kurang ajar lelaki ini. Berbicara
seperti itu tanpa merasa bersalah. Dadaku serasa sesak oleh amarah yang
tak tersalurkan. Aku terdiam seribu bahasa, badanku serasa lemas tak
bertenaga menghadapi kenyataan ini. Aku malu sekali pelampiasanku
selama ini diketahui orang lain. Aku tak tahu sampai sejauh mana Kang
Hendi melihat rahasia di tubuhku. Aku tak ingin membayangkannya.
Kang
Hendi tidak menyerah begitu saja melihat kemarahanku. Kebingunganku
telah membuat diriku kurang waspada. Aku tak tahu sejak kapan Kang
Hendi merapatkan tubuhnya kepadaku. Aku terjebak di ujung ranjang. Tak
ada jalan bagiku untuk melarikan diri. Semuanya tertutup oleh tubuhnya
yang jauh lebih besar dariku. Aku menyembunyikan kepalaku ketika ia
merangkul tubuhku. Tercium aroma khas lelaki tersebar dari tubuh Kang
Hendi. Aku rasakan otot-otot tubuhnya yang keras menempel di tubuhku.
Kedua tangannya yang kekar melingkar sehingga tubuhku yang jauh lebih
mungil tertutup sudah olehnya. Aku berontak sambil mendorong dadanya.
Kang Hendi malah mempererat pelukannya. Aku terengah-engah dibuatnya.
Tenagaku sama sekali tak berarti dibanding kekuatannya. Nampaknya usaha
sia-sia belaka melawan tenaga lelaki yang sudah kesurupan ini.
"Kang
inget.. saya kan adik Akang juga. Lepasin saya kang. Saya janji nggak
akan bilang sama teteh atau siapa aja.." pintaku memelas saking putus
asanya.
Hibaanku sama sekali tak dihiraukan. Kang Hendi memang
sudah kerasukan. Wajahku diciumi dengan penuh nafsu bahkan tangannya
sudah mulai menarik-narik pakaian tidurku. Aku berusaha menghindar
dari ciuman itu sambil menahan pakaianku agr tak terbuka. Kami
berkutat saling bertahan. Kudorong tubuh Kang Hendi sekuat tenaga
sambil terus-terusan mengingatkan dia agar menghentikan perbuatannya.
Lelaki yang sudah kerasukan ini mana bisa dicegah, justru sebaliknya
ia semakin garang. Pakaian tidurku yang terbuat dari kain tipis tak
mampu menahan kekuatan tenaganya. Hanya dengan sekali sentakan,
terdengar suara pakaian dirobek. Aku terpekik kaget. Pakaianku robek
hingga ke pinggang dan memperlihatkan dadaku yang sudah tak tertutup
apa-apa lagi.
Kulihat mata Kang Hendi melotot menyaksikan buah
dadaku yang montok dan kenyal, menggelantung indah dan menggairahkan.
Kedua tanganku dengan cepat menutupi ketelanjanganku dari tatapan liar
mata lelaki itu. Upayaku itu membuat Kang Hendi semakin beringas. Ia
marah dan menarik kedua kakiku hingga aku terlentang di ranjang.
Tubuhnya yang besar dan kekar itu langsung menindihku. Nafasku sampai
tersengal menahan beban di atas tubuhku.
"Kang jangan!" cegahku ketika ia membuka tangannku dari atas dadaku.
Kedua
tanganku dicekal dan dihimpit masing-masing di sisi kepalaku. Dadaku
jadi terbuka lebar mempertontonkan keindahan buah dadaku yang
menjulang tegar ke atas. Kepalaku meronta-ronta begitu kurasakan
wajahnya mendekat ke atas dadaku. Kupejamkan mataku. Aku tak ingin
menyaksikan bagian tubuhku yang tak pernah tersentuh orang lain kecuali
suamiku itu, dirambah dengan kasar oleh Kang Hendi. Aku tak rela ia
menjamahnya. Kucoba meronta di bawah himpitan tubuhnya. Sia-sia saja.
Air mataku langsung menetes di pipi. Aku tak sanggup menahan tangisku
atas perbuatan tak senonoh ini.
Kulihat wajah Kang Hendi
menyeringai senang melihatku tak meronta lagi. Ia terus merayuku
sambil berkata bahwa dirinya justru menolong diriku. Ia, katanya, akan
berusaha memberikan apa yang selama ini kudambakan.
"Kamu tenang aja dan nikmati. Akang janji akan pelan-pelan. Nggak kasar asal kamu jangan berontak.." katanya kemudian.
Aku
tak ingin mendengarkan umbaran bualan dan rayuannya. Aku tak mau Kang
Hendi mengucapkan kata-kata seperti itu, karena aku tak rela
diperlakukan seperti ini. Aku benar-benar tak berdaya di bawah
kekuasaannya. Aku hanya bisa terkulai pasrah dan terpaksa membiarkan
Kang Hendi menciumi wajahku sesuka hati. Bibirnya dengan leluasa
mengulum bibirku, menjilati seluruh wajahku. Aku hanya diam tak bergerak
dengan mata terpejam.
Hatiku menjerit merasakan cumbuannya
yang semakin liar, menggerayang ke leher dan teus turun ke atas
dadaku. Aku menahan nafas manakala bibirnya mulai menciumi kulit di
seputar buah dadaku. Lidahnya menari-nari dengan bebas menelusuri
kemulusan kulit buah dadaku. Kadang-kadang lidahnya menjentik
sekali-sekali ke atas putingku.
"Nggak rela.. nggak rela..!" jeritku dalam hati.
Kudengar
nafasnya semakin menderu kencang. Terdengar suara kecipakan mulutnya
yang dengan rakus melumat seluruh payudaraku yang montok. Seolah ingin
merasakan setiap inci kekenyalannya. Aku seakan terpana oleh
cumbuannya. Hatiku bertanya-tanya. Apa yang sedang terjadi pada
diriku. Kemana tenagaku? Kenapa aku tidak berontak? Kenapa membiarkan
Kang Hendi berbuat semaunya padaku? Aku mendengus frustrasi oleh
perasaanku sendiri. Aku benci pada diriku sendiri yang begitu mudah
terpedaya oleh kelihaiannya bercumbu. Terjadi konflik bathin dalam
diriku. Di satu sisi, aku tak ingin diriku menjadi sasaran empuk nafsu
lelaki ini. Aku adalah seorang wanita bersuami. Terpandang. Memiliki
kehormatan. Aku bukanlah wanita murahan yang dapat sesuka hati mencari
kepuasan. Tetapi di sisi lain, aku merasakan suatu desakan dalam diriku
sendiri. Suatu keinginan yang begitu kuat, meletup-letup tak
terkendali. Kian lama kian kuat desakannya. Tubuhku sampai berguncang
hebat merasakan perang bathin ini. Aku tak tahu mana yang lebih kuat.
Bukankah perasaan ini yang kuimpikan setiap malam?
Tanpa sadar
dari bibirku meluncur desisan dan rintihan lembut. Meski sangat
perlahan, Kang Hendi dapat mendengarnya dan merasakan perubahan yang
terjadi dari tubuhku. Ia ersenyum penuh kemenangan. Ia nampak begitu
yakin bahwa aku akan menyerah kepadanya. Bahkan kedua cekalan
tangannya pada tanganku pun dilepaskan dan berpindah ke atas buah dadaku
untuk meremasnya. Ia sangat yakin aku tak akan berontak meski
tanganku sudah terbebas dari cekalannya.
Memang tak dapat
dipungkiri keyakinan Kang Hendi ini. Aku sendiri tidak memanfaatkan
terbebasnya tanganku untuk mendorong tubuhnya dari atasku. Aku malah
menaruhnya di atas kepala Kang Hendi yang bergerak bebas di atas
dadaku. Tanganku malah meremas rambutnya, menekan kepalanya ke atas
dadaku.
"Kang udah.. jangaann..!" rintihku masih memintanya berhenti.
Oh sungguh munafik sekali
diriku! Mulutku terus-terusan mencegah namun kenyataannya aka malah
mendorongnya untuk berbuat lebih jauh lagi. Akal sehatku sudah hilang
entah kemana. Aku sudah tak ingat akan suamiku, kakakku, atau diriku
sendiri. Yang kuingat hanyalah rangsangan dahysat akibat jilatan dan
kuluman bibir Kang Hendi di seputar putingku. Tangannku menggerayang
di atas punggungnya. Meraba-raba kekerasan otot-otot pejalnya. Aku
semakin terbang melayang, membayangkan keperkasaannya. Inikah jawaban
atas semua mimpi-mimpiku selama ini? Haruskah semua ini kulakukan?
Meski dengan kakak iparku sendiri? Apakah aku harus mengorbankan
semuanya? Pengkhianatan pada suamiku? Kakakku? Hanya untuk memuaskan
keinginanku seorang? Aakkhh.. tidak.. tidak! jeritku mengingat semua
ini.
Cerita Dewasa
- Namun apa mau dikata, cumbuan Kang Hendi yang begitu lihai
sepertinya tahu persis keinginanku. Kebutuhanku yang sudah cukup lama
terkekang. Letupan gairah wanita kesepian yang tak pernah
terlampiaskan. Peperangan dalam bathinku usai sudah dan aku lebih
mengikuti naluri gairah birahiku.
"Akaangg..!" jeritku lirih tak sadar memanggil namanya saat puting susuku disedot kuat-kuat.
Aku
menggelinjang kegelian. Sungguh nikmat sekali hisapan itu. Luar
biasa. Kurasakan selangkanganku mulai basah, meradang. Tubuhku
menggeliat-geliat bagai ular kepanasan mengimbangi permainan lidah dan
mulut Kang Hendi di buah dadaku yang terasa semakin menggelembung
keras.
"Oohh Neng.. bagus sekali teteknya. Akang suka sekali.. mmpphh.. wuiihh.. montok banget" komentar Kang Hendi.
Sebenarnya
hatiku tak menerima ucapan-ucapan kotor yang keluar dari mulut Kang
Hendi. Sepertinya aku ini wanita murahan, yang biasa mengobral
tubuhnya hanya demi kepuasan lelaki hidung belang. Tetapi perasaan itu
akhirnya tertutup oleh kemahirannya dalam mencumbu diriku. Tubuhku
sepertinya menyambut hangat setiap kecupan hangat bibirnya. Badanku
melengkung dan dadaku dibusungkan untuk mengejar kecupan bibirnya.
Nampaknya justru akulah yang menjadi agresif. Liar seperti kuda binal
yang baru lepas kandang.
"Mmpphh.. Neng Anna.. kalau saja Akang
dari dulu tahu. Tentunya Neng nggak perlu lagi gelisah tiap malam
sendirian. Akang pasti mau nemenin semalamam.." celoteh Kang Hendi
seakan tak tahu betapa malunya diriku mendengar ucapan itu.
Aku
sudah tak perduli lagi dengan celotehan tak senonohnya. Aku sudah
memutuskan untuk menikmati apa yang sedang kunikmati saat ini. Kudorong
kepala kang Hendi ke bawah menyusur perutku. Aku ingin merasakan
seperti saat kubermimpi tadi. Rupanya Kang Hendi mengerti keinginanku.
Dengan nafsu menggebu-gebu, ia mulai bergerak. Kedua tangannya
menelusup ke bawah tubuhku, mencekal pinggangku. Mengangkat pinggulku
sedikit kemudian tangannya ditarik ke bawah meraih tepian celana
dalamku dan memelorotkannya hingga terlepas dari kedua kakiku. Aku
mengikuti apa yang ia lakukan. Aku kini sudah terbebas. Pakaian tidurku
entah sudah tercampak dimana. Tubuhku sudah telanjang bulat, tanpa
sehelai benangpun yang menghalangi.
Kulirik Kang Hendi
terbelalak memandangi ketelanjanganku. Ia seolah tak percaya dengan
apa yang ada dihadapan matanya kini. Gairahku seakan mau meletup
melihat tatapan penuh pesona mata Kang Hendi. Membuatku demikian
tersanjung. Aku bangga dikarunia bentuk tubuh yang begitu indah. Kedua
dadaku membusung penuh, keras dan kenyal. Perutku ramping dan rata.
Pinggulku memiliki lekukan yang indah dan pantatku bulat penuh,
menungging indah. Kedua kakiku panjang dan ramping. Mulai dari pahaku
yang gempal dan bentuk betisku yang menggairahkan.
Mungkin kang
Hendi tak pernah mengira akan keindahan tubuhku ini karena memang
sehari-hari aku selalu menggunakan pakaian yang tidak pernah
menonjolkan lekukan tubuhku. Aku bisa membayangkan bagaimana
terkagum-kagumnya Kang Hendi melihatku dalam keadaan telanjang bulat.
"Neng..
kamu cantik sekali. Sempurna.. oohh indah sekali. Mmhh.. teteknya
montok dan aakkhh.. lebat sekali.." puji Kang Hendi tak henti-hentinya
menatap selangkanganku yang dipenuhi bulu hitam lebat, kontras dengan
warna kulitku yang putih bersih.
Mataku melirik ke bawah melihat
tonjolan keras di balik cawatnya. Uugghh.. kurasakan dadaku berdegub,
selangkanganku berdenyut dan semakin membasah oleh gairah
membayangkan batang keras dibalik cawatnya. Gede sekali dan panjang!
Lenguhku dalam hati sambil menahan rangsangan hebat.
"Kaanngg.. ngghh.. jangan ngeliatin aja. Khan malu.." rengekku manja dengan gaya mulai bergenit-genit.
Seakan baru tersadar dari keterpesonaannya, Kang Hendi lalu mulai beraksi.
"Abisnya cantik sekali kamu sih, Neng" katanya kemudian seraya melepaskan cawatnya hingga ia pun kini sama-sama telanjang.
Kulihat
batang kontolnya yang keras itu meloncat keluar seperti ada pernya
begitu lepas dari kungkungan cawatnya. Mengacung tegang dengan
gagahnya. Aku terbelalak melihatnya. Benar saja besar dan panjang.
Kulihat otot-ototnya melingkar di sekujur batang itu. Aku sudah tak
sabar ingin merasakan kekerasannya dalam genggamanku. Terus terang baru
kali ini aku melihat kontol selain milik suamiku. Dan apa yang
dimiliki kang Hendi membuat punya suamiku seperti milik anak kecil
saja. Lagi-lagi aku membanding-bandingkan. Buru-buru pikiran itu
kubuang. Aku lebih suka menyambut kedatangan Kang Hendi menindih
tubuhku lagi.
Kini aku langsung menyambut hangat ciumannya sambil
merangkulnya dengan erat. Ciuman Kang Hendi benar-benar
menghanyutkan. Aku dibuatnya bergairah. Apalagi kurasakan gesekan
kontol yang keras di atas perutku semakin membuat gairahku
meledak-ledak. Kang Hendi lalu kembali menciumi buah dadaku. Kali ini
kusodorkan dengan sepenuh hati. Kurasakan hisapan dan remasannya
dengan penuh kenikmatan. Tanganku mulai berani lebih nakal.
Menggerayang ke sekujur tubuhnya, bergerak perlahan namun pasti ke
arah batangnya. Hatiku berdesir kencang merasakan batang nan keras itu
dalam genggamanku. Kutelusuri mulai dari ujung sampai pangkalnya.
Jemariku menari-nari lincah menelusuri urat-urat yang melingkar di
sekujur batangnya. Kukocok perlahan dari atas ke bawah dan sebaliknya.
Terdengar Kang Hendi melenguh perlahan. Kuingin ia merasakan
kenikmatan yang kuberikan. Ujung jariku menggelitik moncongnya yang
sudah licin oleh cairannya. Lagi-lagi Kang Hendi melenguh. Kali ini
lebih keras.
Tiba-tiba saja ia membalikkan tubuhnya. Kepalanya
persis berada di atas selangkanganku sementara miliknya persis di atas
wajahku. Kulihat batangnya bergelantungan, ujungnya menggesek-gesek
mulutku. Entah dari mana keberanianku muncul, mulutku langsung
menangkap kontolnya. Kukulum pelan-pelan. Sesungguhnya aku tak pernah
melakukan hal ini kepada suamiku sebelumnya. Aku tak mengerti kenapa
aku bisa berubah menjadi binal, tak ada bedanya dengan
perempuan-perempuan nakal di jalanan. Namun aku tak peduli. Aku ingin
merasakan kebebasan yang sebenar-benarnya. Kuingin semua naluriku
melampiaskan fantasi-fantasi liar yang ada dalam diriku. Kuingin
menikmati semuanya.
Kang Hendi tak mau kalah. Lidahnya menjulur
menelusuri garis memanjang bibir kemaluanku. Aku terkejut seperti
terkena listrik. Tubuhku bergetar. Kurasakan darahku berdesir
kemana-mana. Lidah Kang Hendi bermain lincah. Menjilat, menusuk-nusuk,
menerobos rongga rahimku. Aku seperti melayang-layang di atas awan.
Ini merupakan pengalaman yang luar biasa selama hidupku. Aku tak
pernah merasakan dijilati seperti itu sebelumnya. Nikmatnya sungguh
tak terkira. Pinggulku tak bisa diam, mengikuti kemana jilatan lidah
Kang Hendi berada.
Tubuhku seperti dialiri listrik berkekuatan
tinggi. Gemetar menahan desakan kuat dalam tubuhku. Rasanya aku tak
tahan menerima kenikmatan ini. Perutku mengejang. Kakiku merapat,
menjepit kepala Kang Hendi. Seluruh otot-ototku menegang. Jantungku
serasa berhenti. Aku berkutat sekuat tenaga sampai akhirnya ku tak
mampu lagi dan langsung melepaskannya diiringi jeritan lirih dan
panjang. Tubuhku menghentak berkali-kali mengikuti semburan cairan
hangat dari dalam liang memekku. Aku terhempas di atas ranjang dengan
tubuh lunglai tak bertenaga. Puncak kenikmatan yang kucapai kali ini
sungguh luar biasa dan dahysat. Aku merasa telah terbebas dari sesuatu
yang sangat menyesakan dada selama ini.
"Oohh.. Kaanngg.. ngghh.. enak sekali.." rintihku tak kuasa menahan diri.
Aku
sendiri tak sadar dengan apa yang kuucapkan. Sungguh memalukan sekali
pengakuan atas kenikmatan yang kurasakan saat itu. Aku tak ingin Kang
Hendi menilai rendah diriku. Ku tak ingin ia tahu aku sangat
menikmati cumbuannya. Kulihat Kang Hendi tersenyum di bawah sana. Ia
merasa sudah mendapatkan kemenangan atas diriku. Ia bangga dengan
kehebatannya bercinta hingga mampu membuatku orgasme lebih dulu. Aku tak
bisa berbuat banyak, karena harus kuakui bahwa diriku sangat
membutuhkannya saat ini. Membutuhkan apa yang sedang kuggengam dalam
tanganku. Benda yang tentunya akn memberikan kenikmatan yang lebih dari
yang kudapatkan barusan.
Tanpa sadar jemariku meremas-remas
kembali batang kontolnya. Kukocok perlahan dan kumasukan ke dalam
mulutku. Kukulum dan kujilat-jilat. Kurasakan Kang Hendi meregang,
merintih kenikmatan. Aku tersenyum melihatnya seperti itu. Aku ingin
ia merasakan kenikmatan pula. Kenikmatan yang akan membuatnya
memohon-mohon padaku. Kulumanku semakin panas. Lidahku melata-lata
liar di sekujur batangnya. Aku bertekad untuk mengeluarkan air maninya
secepat mungkin.
Terdengar suara selomotan mulutku. Kang Hendi
merintih-rintih keenakan. Rasain, runtukku dalam hati dan mulai tak
sabar ingin melihat air maninya menyembur keluar. Di atas tubuhku,
Kang Hendi menggerakan pinggulnya seolah sedang bersenggama, hanya
saja saat itu kontolnya menancap dalam mulutku. Kuhisap, kusedot
kuat-kuat. Ia masih bertahan. Aku kembali berusaha tetapi nampaknya ia
belum memperlihatkan tanda-tanda. Aku sudah mulai kecapaian. Mulutku
terasa kaku. Sementara gairahku mulai bangkit kembali. Liang memekku
sudah mulai mengembang dan basah kembali, sedangkan kontol Kang Hendi
masih tegang dan gagah perkasa. Bahkan terasa lebih keras.
"Udah Neng. Ganti posisi aja.." kata Kang Hendi kemudian seraya membalikkan tubuhnya dalam posisi umumnya bersetubuh.
Kang
Hendi memang piawai dalam bercinta. Ia tidak langsung menancapkan
kontolnya ke dalam memekku, tetapi digesek-gesekan dulu di sekitar bibir
kemaluanku. Ia sepertinya sengaja melakukan itu. Kadang-kadang
ditekan seperti akan dimasukan, tetapi kemudian digeserkan kembali ke
ujung atas bibir kemaluanku menyentuh kelentitku. Kepalanya
digosok-gosokan. Aku menjerit lirih saking keenakan. Ngilu, enak dan
entah apa lagi rasanya.
"Kaangg.. aduuhh.. udah kang! Sshh.. mmppffhh.. ayoo kang.. masukin aja.. nggak tahan!" pintaku menjerit-jerit tanpa malu-malu.
Aku
sudah tak memikirkan lagi kehormatan diriku. Rasa gengsi atau apapun.
Yang kuinginkan sekarang adalah ia segera mengisi kekosongan liang
memekku dengan kontolnya yang besar dan panjang. Aku nyaris mencapai
orgasme leagi hanya dengan membayangkan betapa nikmatnya kontol
sebesar itu mengisi penuh liang memekku yang rapat.
"Udah nggak
tahan ya, Neng" candanya sehingga membuatku blingsatan menahan nafsu.
Kurang ajar sekali Kang Hendi ini. Ia tahu aku sudah dalam kendalinya
jadi bisa mempermainkan perasaanku semau-maunya.
Aku gemas sekali
melihatnya menyeringai seperti itu. Di luar dugaannya, aku langsung
menekan pantatnya dengan kedua tanganku sekuat tenaga. Kang Hendi sama
sekali tak menyangka hal ini. Ia tak sempat menahannya. Maka tak ayal
lagi batang kontolnya melesak ke dalam liang memekku. Aku segera
membuak kedua kakiku lebar-lebar, memberi jalan seleluasa mungkin bagi
kontolnya. Aku berteriak kegirangan dalam hati, akhirnya kontol Kang
Hendi berhasil masuk seluruhnya. Meski cukup menyesakkan dan membuat
liang memekku terkuak lebar-lebar, tetapi aku puas dan lega karena
keinginanku tercapai sudah.
Kulihat wajah Kang Hendi terbelalak
tak menyangka akan perbuatanku. Ia melirik ke bawah melihat seluruh
kontolnya terbenam dalam liangku. Aku tersenyum menyaksikannya.
Ia balas tersenyum, "Kamu nakal ya.." katanya kemudian.
"Awas, entar Akang bikin kamu mati keenakan. "
"Mau doongg.." jawabku dengan genit sambil memeluk tubuh kekarnya.
Kang
Hendi mulai menggerakan pinggulnya. Pantatnya kulihat naik turun
dengan teratur. Kadang-kadang digeol-geolkan sehingga ujung kontolnya
menyentuh seluruh relung-relung vaginaku. Aku turut mengimbanginya.
Pinggulku berputar penuh irama. Bergerak patah-patah, kemudian berputar
lagi. Goyangan ini timbul begitu saja dalam benakku. Mungkin terlalu
sering nonton penyanyi dangdut bergoyang di panggung. Tetapi efeknya
sungguh luar biasa. Kang hendi tak henti-hentinya memuji goyanganku. Ia
bilang belum pernah merasakan goyangan sehebat ini. Aku tambah
bergairah. Pinggulku terus bergoyang tanpa henti sambil mengedut-edutkan
otot vaginaku sehingga Kang Hendi merasakan kontol seperti
diemut-emut.
"Akkhh Neengg.. eennaakkhh.., hebaathh.. uugghh.." erangnya berulang-ulang.
Kang
Hendi mempercepat irama tusukannya. Kurasakan batang kontol besar itu
keluar masuk liang memekku dengan cepatnya. Aku imbangi dengan cepat
pula. Kuingin Kang Hendi lebih cepat keluar. Aku ingin membuatnya KO!
Kami saling berlomba, berusaha saling mengalahkan. Kuakui permainan
Kang Hendi memang luar biasa. Mungkin kalau aku belum sempat orgasme
tadi, tentunya aku sudah keluar duluan. Aku tersenyum melihat Kang
Hendi nampak berusaha keras untuk bertahan, padahal sudah kurasakan
tubuhnya mulai mengejang-ngejang. Aku berpikir ia akan segera tumpah.
Pinggulku
meliuk-liuk liar bak kuda binal. Demikian pula Kang Hendi, pantatnya
mengaduk-aduk cepat sekali. Semakin bertambah cepat, sudah tidak
beraturan seperti tadi. Aku terperangah karena tiba-tiba saja terasa
aliran kencang berdesir dalam tubuhku. Akh.. nampaknya aku sendiri
tidak tahan lagi. Memekku terasa merekah semakin lebar, kedua ujung
puting susuku mengeras, mencuat berdiri tegak. Mulut Kang Hendi
langsung menangkapnya, menyedotnya kuat-kuat. Menjilatinya dengan penuh
nafsu. Aku membusungkan dadaku sebisa mungkin dan oohh.. rasanya aku
tak kuat lagi bertahan.
"Kang Hendi! Cepet keluarin juga..!" teriakku sambil menekan pantatnya kuat-kuat agar mendesak selangkanganku.
Beberapa
detik kemudian aku segera menyemburkan air maniku disusul kemudian
oleh semprotan cairan hangat dan kental menyirami seluruh liang
memekku. Tubuh Kang Hendi bergetar keras. Ia peluk diriku erat-erat.
Aku balas memeluknya. Kami lalu bergulingan di ranjang merasakan
kenikmatan puncak permainan cinta ini dengan penuh kepuasan. Kami
merasakannya bersama-sama. Kami sudah tidak memperdulikan tubuh kami
yang sudah basah oleh peluh keringat, bantal berjatuhan ke lantai. Sprei
berantakan tak karuan, terlepas dari ikatannya. Eranganku, jeritan
nikmatku saling bersahutan dengan geramannya. Kedua kakiku melingkar di
seputar pinggangnya. Aku masih merasakan kedutan-kedutan batang kontol
Kang Hendi dalam memekku.
Nikmat sekali permainan gairah cinta
yang penuh dengan gelora nafsu birahi ini. Aku termenung merasakan
sisa-sisa akhir kenikmatan ini. Pikiranku menerawang jauh. Apakah aku
masih bisa merasakan kehangatan ini bersama Kang Hendi. Apakah hanya
sampai disini saja mengingat perselingkuhan ini suatu saat akan
terungkap juga. Bagaimana akibatnya? Bagaimana perasaan kakakku? Orang
tuaku, suamiku dan yang lainnya? Akh! Aku tak mau memikirkannya saat
ini. Aku tak ingin kenikmatan ini terganggu oleh hal-hal lain. Kuingin
merasakan semuanya malam ini bersama Kang Hendi. Lelaki yang telah
memberikan pengalaman baru dalam bercinta. Dialah orang yang telah
membuat lembaran baru dalam garis kehidupan masa depanku.
Semenjak
peristiwa di malam itu, aku dan Kang Hendi selalu mencari kesempatan
untuk melakukannya kembali. Ia memang seorang lelaki yang benar-benar
jantan. Begitu perkasa. Aku harus akui ia memang sangat pandai
memuaskan wanita kesepian seperti diriku. Ia selalu hadir dalam
dekapanku dengan gaya permainan yang berlainan. Aku tidak penah bosan
melakukannya, selalu ada yang baru. Salah satu diantaranya, yang juga
merupakan gaya favoritku, ia berdiri sambil memangku tubuhku. Kedua
kakiku melingkar di pinggangnya, tanganku bergelayut di lehernya agar
tak terjatuh. Selangkanganku terbuka lebar dan batang kontolnya menusuk
dari bawah. Aku bergelayutan seperti dalam ayunan mengimbangi tusukan
kontolnya. Kang Hendi melakukan semua itu sambil berjalan mengelilingi
kamar dan baru berhenti di depan cermin. Saat kumenoleh kebelakang
aku bisa melihat bayangan pantatku bergoyang-goyang sementara
kontolnya terlihat keluar masuk memekku. Sungguh asyik sekali
permainan dalam gaya ini.
Namun perselingkuhanku dengan Kang
Hendi berlangsung tak begitu lama. Aku sudah sangat ketakutan semua
ini suatu saat terungkap. Makanya aku memutuskan untuk pindah dari
kampungku agar tidak bertemu lagi dengannya. Terus terang saja,
setelah kejadian itu, justru akulah yang sering memintanya untuk
datang ke kamarku malam-malam. Aku tak pernah bisa menahan diri.
Apalagi kalau sudah melihatnya bercanda mesra dengan kakakku. Pernah
suatu kali aku penasaran untuk mengintip mereka bercinta di kamarnya.
Aku kebingungan sendiri sampai akhirnya lari ke kamar dan melakukannya
sendiri hingga aku mencapai kenikmatan karena menunggu Kang Hendi
jelas tak mungkin karena istrinya ada di rumah. Keadaan ini jelas tak
mungkin berlangsung terus menerus, selain akan terungkap, akupun
rasanya akan menderita harus bertahan seperti ini.
Dengan berat
hati akhirnya aku pindah ke kota. Kujual semua hartaku, termasuk rumah
tinggal, sawah dan ternak-ternak milikku untuk modal nanti di
kehidupanku yang baru. Kecuali mobil karena kuanggap akan sangat
berguna sebagai alat transportasi untuk menunjang kegiatanku nanti.
Tamat.